Kamis, 16 April 2009

Kunci Kebaikan

Kamis, 16 April 2009



Kunci Kebaikan


Oleh M Lili Nur Aulia

Khairu ummah atau umat terbaik adalah sebutan Alquran (QS Ali Imran [3]: 110) terhadap umat Islam. Label 'umat terbaik' itu berarti umat Islam mempunyai keistimewaan.

Karakter utama dari pemilik keistimewaan ini disebutkan dalam ayat lanjutannya, yang melekat dengan sikap amar ma'ruf dan nahyul munkar.

Umat Islam harusnya tidak memulai kemungkaran, apalagi menambah kemungkaran. Tapi, selalu berada pada posisi kunci memulai kebaikan, dan selalu ingin menambah porsi kebaikan yang sudah ada.

Kenyataannya tidak seperti diharapkan. Sebagian umat kerap terbawa keburukan di dekatnya. Mudah masuk dan terlibat dalam pembicaraan yang tergolong munkar dan tak cenderung menghalanginya.

Sebagian lain turut menyampaikan pendapat dan komentar yang menambahkan informasi miring, berita negatif, atau keburukan orang lain. Bukan meluruskan keadaan dan tidak menjadikan informasi buruk itu agar seimbang.

Seorang Muslim sesuai karakter yang dipuji dalam Alquran, menjadi miftaahul khair (kunci kebaikan). Jika disebutkan berita buruk tentang seseorang dan bila disampaikan tentang perilaku negatif dari saudara Muslimnya, pertama kali ia akan menutupi keburukan dan kekurangan saudaranya itu.

Bahkan, ia akan cenderung menyebutkan kebaikan-kebaikan yang ia ketahui di hadapan banyak orang tentang orang yang diberitakan buruk itu. Karena memang, tidak ada orang yang terlepas dari kekurangan.

''Salah seorang kalian melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tapi tidak melihat kotoran besar di matanya sendiri.'' (Ash Silsilah Ash Shahihah No 33).

Rasulullah SAW juga menegaskan larangan ghibah atau membicarakan keburukan orang lain. Memang banyak orang yang beralasan, membicarakan keburukan orang lain itu untuk tujuan memberi nasihat, memperbaiki, dan meluruskan yang bersangkutan.

Alasan ini sangat lemah. Mengingat upaya menasihati, memperbaiki, dan meluruskan itu harus dilakukan kepada yang bersangkutan langsung, bukan menyebarluaskan keburukannya di hadapan orang lain.

Kesalahan lisan bisa menjerumuskan pelakunya ke neraka Jahanam. Rasulullah SAW pernah berkata kepada Mu'adz bin Jabal RA, ''Ya Mu'adz bin Jabal, apakah ada yang menjebloskan seseorang ke neraka Jahanam kecuali akibat kesalahan lisan mereka.'' (As Silsilah Ash Shahihah No 3284).

Mari menjadi perekat hubungan antarunsur masyarakat Islam. Tinggalkan perkataan yang menyakiti atau menodai kehormatan sesama Muslim yang dapat melemahkan bangunan masyarakat Islam.

Meningkatkan Kualitas Diri

Rabu, 15 April 2009

Meningkatkan Kualitas Diri


Oleh Muhsinin Fauzi

Untuk meningkatkan kualitas diri, sabda Rasulullah SAW berikut patut disimak. ''Jika hari ini lebih buruk dari kemarin, celaka. Jika hari ini sama dengan hari kemarin, rugi. Jika hari ini lebih baik dari kemarin, beruntung.''

Orang beriman hendaklah terus meningkatkan kualitas dan kapasitas dirinya. Peningkatan harus berjalan hari demi hari. Kondisi hari ini tidak boleh sama, apalagi lebih buruk dari kemarin. Setiap hari ada penambahan nilai dan tidak boleh diam, apalagi mundur.

Anggap saja kita menambah nilai satu poin setiap harinya. Artinya, kita akan mempunyai nilai peningkatan sejumlah 360 setiap tahunnya. Jika kita memiliki waktu 30 tahun, berarti kita dapat mengumpulkan 10.800 poin peningkatan.

Itu kalau peningkatannya satu poin per hari. Bagaimana jika dua poin per hari, maka akan terkumpul 21.600 poin. Bagaimana jika tiga poin, empat poin, 10 poin per hari? Luar biasa.

Itulah Islam, mengajarkan manusia agar tidak berhenti meningkatkan kualitas dirinya. Ada beberapa peningkatan utama yang harus dicapai oleh setiap Muslim.

Yang pertama adalah peningkatan keimanan. Setiap hari iman harus bertambah baik, kuat, dan makin sempurna. Hingga Muslim dapat menikmati manisnya iman, bukan karena kondisi dan keterpaksaan.

Kedua, peningkatan kualitas ibadah. Hari demi hari harus makin sesuai dengan sunah Nabi dan makin bermakna, tambah khusyuk hingga berbuah ketakwaan. Ketiga, peningkatan akhlak. Setiap saat harus lebih baik dan sempurna. ''Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.'' (HR Imam Malik).

Keempat, peningkatan ilmu. Seiring perjalanan waktu, ilmu yang dikuasai bertambah banyak, luas, dan harus bermanfaat bagi sesama serta bermuara pada sikap arif dan bijak.

Kelima, peningkatan kesehatan. Keenam, peningkatan kekayaan. Khusus mengenai karunia kekayaan, rumus yang berlaku adalah firman Allah SWT, ''Laa in syakartum la azidannakum.''

Artinya akan ada tambahan karunia jika seseorang bersyukur, dan salah satu bentuk karunia adalah harta. Jika karunia tidak bertambah, jangan-jangan karena kita kurang bersyukur.

Ketujuh, peningkatan pengaruh. Tentang peningkatan pengaruh dan kekuasaan, rumusnya sesuai firman Allah SWT, ''Allahlayastakhlifannakum.'' Jika beriman dan bertakwa, Allah SWT akan menguasakan bumi ini kepada kalian (kaum Muslim). Jika tidak ada pelimpahan kekuasaan dari Allah SWT, berarti ada yang perlu dikoreksi, salah satunya iman dan takwa kita.

Zuhud

Selasa, 14 April 2009

Zuhud

Oleh Nasher Akbar


Dari Sahl bin Sa'd, ia berkata, ''Telah datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW, lalu berkata, 'Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amal yang bila kuamalkan dia, niscaya Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku.' Maka, sabdanya, 'Berzuhudlah dari dunia, niscaya Allah mencintaimu, dan berzuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia mencintaimu'.'' (HR Ibnu Majah).

Syekh Junaid menjelaskan, zuhud adalah hati selalu merasa ridha sekalipun usahanya gagal. Menurut Sufyan Ats-Tsauri, zuhud merupakan tidak panjang angan-angan dalam urusan duniawi, bukan mengonsumsi makanan yang tidak enak dan bukan pula mengenakan pakaian yang sangat sederhana.

Rasulullah SAW bersabda, ''Zuhud adalah mencintai sesuatu yang dicintai Allah dan membenci sesuatu yang dibenci Allah. Meninggalkan harta yang halal sebagaimana meninggalkan harta yang haram. Sebab, yang halalnya pasti akan dihisab, sedangkan yang haramnya pasti akan membuahkan siksa. Menyayangi sesama orang Islam sebagaimana menyayangi diri sendiri. Memelihara diri dari ucapan yang tidak bermanfaat sebagaimana memelihara diri dari ucapan yang haram. Memelihara diri dari banyak makan sebagaimana memelihara diri dari memakan bangkai yang amat busuk. Memelihara diri dari aneka macam kesenangan dunia dan perhiasannya sebagaimana memelihara diri dari panasnya api neraka. Dan, tidak panjang angan-angan. Inilah zuhud yang sebenarnya.'' (HR Dailami).

Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa ada tiga tanda-tanda zuhud. Pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Kedua, sama saja di sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun kedudukan.

Ketiga, senantiasa bersama Allah SWT dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan karena hati tidak dapat terbebas dari kecintaan. Apakah cinta Allah SWT atau cinta dunia. Dan, keduanya tidak dapat bersatu.

Cinta dunia dan rakus terhadap harta adalah penyakit paling berbahaya. Segala bentuk kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap dunia dan pola hidup materialisme, narkoba, perjudian, riba, korupsi, dan sebagainya.

''Tidaklah dua serigala lapar yang dikirim pada kambing melebihi bahayanya daripada kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan.'' (HR At-Tirmidzi).

Alangkah indahnya bila setiap Muslim berbuat zuhud. Kemiskinan dapat terkurangi, korupsi akan hilang, serta tak ada pula kedengkian dan usaha saling menjegal satu sama lain demi tujuan duniawi. Sesungguhnya, kenikmatan dunia hanyalah sesaat bila dibandingkan kenikmatan yang akan Allah SWT berikan kepada mereka yang berlaku zuhud.

Kutub Kualitas Manusia

Senin, 13 April 2009

Kutub Kualitas Manusia


Oleh M Fathurahman

''Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian, Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Maka, bagi mereka, pahala yang tiada putus-putusnya.'' (QS Attiin [95]: 4-6).

Alquran secara gamblang mengemukakan dua kutub kualitas manusia, yakni ahsan taqwim (makhluk paling sempurna) dan asfal safilin (makhluk paling hina). Definisi 'makhluk paling sempurna' merupakan makhluk yang berpotensi dan mampu melakukan segala kebaikan dan menjauhi larangan sebagaimana pengertian takwa.Sedangkan, 'makhluk paling hina' adalah makhluk yang dengan sengaja dan rela pada dirinya ditempati berbagai macam ketidakbaikan. Pada dasarnya, kategori kehidupan manusia bermuara kepada dua hal ini.

Jika tidak baik, pastilah jelek atau sebaliknya. Meskipun, naluri semua orang akan cenderung senang jika dikatakan baik (berkualitas) dalam kehidupannya. Dan, enggan atau akan marah jika dikatakan berperangai buruk.Namun, seperti lazim diketahui, untuk mencapai derajat ahsan taqwim atau berkualitas tinggi, bukanlah perkara mudah. Pencapaian ini diliputi hal berat, sebagaimana puasa di terik siang dan tahajud pada dini hari.

Namun, bukankah agama juga telah menggariskan bahwa al ajru biqadri at ta'ab (pahala itu sesuai upayanya)? Sangatlah relevan jika logika ini dibangun kembali.''Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik pria maupun wanita, dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala lebih baik daripada yang telah mereka kerjakan.'' (QS Annahl [16]: 97).

Bagian yang tak kalah penting dalam pesan ayat ini adalah beriman sehingga betapa pun amal saleh yang dikerjakan, jika tak menempatkan diri pada posisi Mukmin, akan menemukan kesia-siaan belaka. ''Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh adalah sebaik-baiknya makhluk.'' (QS Albayyinah [98]: 7).

Melihat i'tibar di atas, semakin jelas bahwa manusia pada kenyataannya dihadapkan pada dua pilihan yang sangat kontras: baik dan buruk. Manusia diberi kebebasan untuk menapaki jalan sesuka hatinya.Namun begitu, bukankah kita makhluk normal yang diberi akal dan pikiran oleh Allah SWT sehingga dapat membedakan yang baik dan tidak. Sudah selaiknya kita mengetahui yang seharusnya dijalankan untuk mencapai derajat ahsan taqwim .

Meluruskan Jiwa

Sabtu, 11 April 2009

Meluruskan Jiwa


Oleh Aji Payumi

Di kala manusia menjadikan jiwanya sebagai sumber kebahagiaan dan kesengsaraan hidup, Alquran menaruh perhatian besar untuk meluruskan jiwa itu dengan akhlak yang mulia dan sifat-sifat yang baik.

''Dan, jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan, sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.'' (QS Asysyams [91]: 8-10).Allah SWT telah bersumpah dengan kesempurnaan dan kesiapan jiwa manusia untuk menerima kefasikan dan ketakwaan. Artinya, Allah SWT memberikan petunjuk kepada jiwa kita dengan dua jalan, yaitu jalan kebaikan dan kejahatan.

Maka itu, barang siapa yang menginginkan jalan kebahagiaan dan keberuntungan, hendaknya ia menempuh jalan kebaikan serta menyucikannya. Sebaliknya, barang siapa yang menginginkan jalan kecelakaan dan kerugian, hendaknya ia menempuh jalan kejahatan lalu mengotorinya dengan hal-hal tercela. Naudzubillahi min dzalik.Di Alquran, ada beberapa fondasi yang mampu menopang tegak dan lurusnya jiwa manusia. Di antaranya, pertama, mengesakan Allah SWT dan tak menyekutukan-Nya. Inilah fondasi dasar paling esensial untuk meluruskan jiwa kita.

Sebagaimana Luqman Alhakim pertama kali menasihati putranya dengan nasihat ini, ''Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.''Kedua, mendirikan shalat. Shalat merupakan penyempurnaan jiwa manusia, sebagaimana amar makruf dan nahi munkar adalah penyempurna kebaikan dan kesabaran menghadapi musibah dan ketetapan Allah SWT.

Ketiga, bersikap tawadhu (merendahkan diri) dan tidak sombong dengan memalingkan muka dari manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah, ''Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan sombong, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.'' (QS Luqman [31]: 18).

Keempat, sederhana dalam berjalan. Artinya, tak terlalu cepat dan tidak terlalu lamban. Rasulullah SAW bersabda, ''Berjalan cepat akan menghilangkan wibawa orang Mukmin.'' (Al-hadis).Terakhir, merendahkan suara dalam berbicara, karena meninggikan suara merupakan hal tercela, ibarat suara keledai. (QS Luqman [31]: 19).

Kebersahajaan

Jumat, 10 April 2009

Kebersahajaan

Oleh M Mahbubi Ali

Sejarah hidup Rasulullah SAW banyak mengajarkan tentang kesederhanaan dan kebersahajaan. Sebagai seorang pemimpin besar, beliau tak pernah memakai baju kebesaran atau mahkota bertahtakan manikam.

Rasulullah SAW juga tak pernah tidur di atas kasur empuk. Sebaliknya, tidur beralaskan tikar pandan. Ketika bangun, para sahabat dapat melihat bekas alas tikar di sekujur tubuhnya. Tak jarang, Rasulullah SAW harus mengganjal perutnya untuk menahan lapar, karena tak punya sedikit pun makanan.

Saat wafat, Rasulullah SAW tidak mewariskan harta apa pun kepada keluarganya. Yang diwariskan hanyalah karakter kepemimpinan, prinsip kebersamaan, keindahan perilaku, kejujuran, dan kebersahajaan. Saat wafat pula, Muhammad SAW masih sempat menanyakan nasib umatnya.

Kecintaan dan kekhawatiran terhadap umatnya, melebihi kecintaan dan kekhawatiran terhadap diri dan keluarganya sendiri. Seorang pemimpin sejatinya bisa meneladani kesederhanaan dan kebersahajaan Rasulullah SAW.Kebersahajaan semestinya menjadi karakter yang harus dimiliki setiap pemimpin dalam level manapun. Dengan kebersahajaan, pemimpin akan menghargai usaha-usaha orang lain. Itu pula mengapa kebersahajaan selalu dihargai orang lain.

Dengan kebersahajaan, pemimpin tak akan pongah pada jabatan dan hartanya. Sebab, kebersahajaan pada dasarnya sikap untuk tidak berpusat pada diri sendiri, dan tak merasa bangga pada apa yang dimiliki. Kebersahajaan pada muaranya akan membuahkan sikap rendah hati. Seseorang yang rendah hati tidak dapat dijatuhkan dengan cercaan dan tak akan terlena dengan pujian. Pemimpin yang bersahaja tidak memedulikan penilaian atas prestasi yang dicapai. Sebab, ia bekerja hanya untuk kepentingan umat tanpa berharap pamrih dan apresiasi berlebih.

Sesungguhnya, kebesaran seseorang tidak ditentukan dengan sikap keakuan dan kepongahan. Kebesaran juga tidak ditentukan oleh atribut dan aksesori keduniaan yang profan. Tapi, kebesaran dan kemuliaan itu terletak pada sikap rendah hati dan kebersahajaan tadi.

Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa yang rendah hati (tawadhu'), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dan siapa yang sombong Allah akan menghinakannya.''Saat ini kebersahajaan menjadi makhluk langka, lebih-lebih pada pribadi para pemimpin kita. Mereka seakan makin jauh terperosok dalam dunia hedonis-materialistik. Padahal, rakyat sangat membutuhkan sosok pemimpin yang menjadi teladan, mengayomi, bertanggung jawab, dan berwibawa, tapi bersahaja. Seperti yang terpotret dalam kepemimpinan Rasulullah SAW.